About IAI

Sejarah IAI

 

IAI didirikan secara resmi pada tanggal 17 September 1959 di Bandung. Kini di usianya yang ke-48, IAI telah beranggotakan lebih dari 11.000 arsitek yang terdaftar melalui 34 kepengurusan daerah dan 2 kepengurusan cabang yang tersebar di seluruh Indonesia, dengan kepengurusan daerah termuda di Nusa Tenggara Timur yang dideklarasikan pada tanggal 27 Oktober 2007 lalu.

IAI aktif dalam kegiatan internasional melalui keanggotaannya di ARCASIA (Architects Regional Council of Asia) sejak tahun 1972 dan di UIA (Union Internationale des Architectes) sejak tahun 1974, serta AAPH (Asean Association Planning and Housing) di mana IAI merupakan salah satu pendirinya.

Di dalam negeri pun selain bermitra dengan pemerintah, IAI tetap aktif bergaul dengan asosiasi profesi lain, seperti melalui keanggotaan dalam Lembaga Pegembangan Jasa Konstruksi dan Forum Asosiasi Profesi Jasa Konstruksi.

 

SEJARAH PEMBENTUKAN IAI

Di penghujung tahun 50-an dikeluarkan instruksi membentuk gabungan perusahaan sejenis yang dimaksudkan selain untuk memudahkan komunikasi antara pemerintah dengan dunia pengusaha, juga diharapkan dapat menentukan suatu standar kerja bagi para pelakunya. Dengan begitu, dapat dipastikan bahwa pemerintah sebagai pemberi tugas paling besar pada masa itu, dapat memastikan perolehan barang dan jasa yang bermutu.

Penataan di bidang usaha perencanaan dan pelaksanaan pembangunan fisik diserahkan kepada Kementerian Pekerjaan Umum. Pada bulan April 1959, menteri mengadakan suatu konferensi nasional di Jakarta untuk membentuk Gabungan Perusahaan Perencanaan dan Pelaksanaan Nasional (GAPERNAS). Konferensi ini dihadiri oleh beberapa arsitek, baik tua maupun muda (baru lulus) dari berbagai lingkup kegiatan.

Dalam konferensi tersebut, para arsitek yang mewakili bidang perancangan merasa sangat tidak puas karena mereka berpendapat bahwa kedudukan perencanaan dan perancangan tidaklah sama dan tidak juga setara dengan pelaksanaan. Pekerjaan perancangan berada di dalam lingkup kegiatan profesional (konsultan), yang mencakupi tanggung jawab moral dan kehormatan perorangan yang terlibat, karena itu tidak semata-mata berorientasi sebagai usaha yang mengejar laba (profit oriented). Sebaliknya pekerjaan pelaksanaan (kontraktor) cenderung bersifat bisnis komersial, yang keberhasilannya diukur dengan besarnya laba. Lagi pula tanggung jawabnya secara yuridis/formal bersifat kelembagaan atau badan hukum, bukan perorangan, serta terbatas pada sisi finansial saja.

Waktu itu, Ir. Soehartono Soesilo yang mewakili biro arsitektur PT Budaya dan Ars. F. Silaban tidak bisa berbuat apa-apa. Ketidakpuasan mereka terpendam dalam hati, akan tetapi justru pertemuan dan ketidakpuasan itulah yang kemudian memicu lahirnya organisasi profesi bagi para arsitek Indonesia. Di gedung Harmonie Jakarta itulah mereka sepakat berbagi tugas untuk mengadakan pertemuan lagi dengan mengajak rekan-rekan arsitek lainnya. Ars. F. Silaban akan menghubungi para arsitek senior, sedangkan Ir. Soehartono Soesilo akan menggalang para arsitek muda lulusan ITB yang hingga tahun 1958 itu telah meluluskan 17 orang arsitek muda.

Ars. F. Silaban adalah seorang arsitek otodidak; pendidikan formalnya hanya setingkat STM, tetapi ketekunannya membuahkan beberapa kemenangan sayembara perancangan arsitektur, sehingga dunia profesi pun mengakuinya sebagai arsitek. Pada waktu itu dia masih menjabat sebagai Kepala Pekerjaan Umum Bogor. Di samping jabatannya itu, dia pun berpraktik sebagai arsitek, dan telah memenangkan sayembara Gerbang Taman Makam Pahlawan Kalibata (1953) dan perancangan Mesjid Istiqlal (1954), dan sedang mengerjakan beberapa gedung milik Bank Indonesia di Jakarta.

Soehartono Soesilo lulus dari ITB tahun 1958 dan langsung bekerja di biro arsitek Budaya di Bandung yang didirikan oleh ayahnya, Ars. M. Soesilo. Selama revolusi kemerdekaan, dia bergabung dalam Polisi Tentara (CPM) di Resimen Tangerang dan setelah penyerahan kedaulatan, dia kembali melanjutkan sekolah. Ketika masih mahasiswa tahun pertama, dia memrakarsai pendirian Ikatan Mahasiswa Arsitektur Gunadharma dan menjadi ketua pertamanya. Jelaslah, walaupun masih muda, tetapi kesadaran profesionalnya sudah matang.

Akhir kerja keras dua pelopor ini bermuara pada pertemuan besar pertama para arsitek dua generasi di Bandung pada tanggal 16 dan 17 September 1959. Pertemuan ini dihadiri 21 orang, tiga orang arsitek senior, yaitu: Ars. F. Silaban, Ars. Mohammad Soesilo, Ars. Lim Bwan Tjie dan 18 orang arsitek muda lulusan pertama Jurusan Arsitektur ITB tahun 1958 dan 1959.

Pertemuan pertama diadakan di jalan Wastukancana, di rumah saudara Ars. Lim Bwan Tjie di seberang pompa bensin Wastukancana, ini dilakukan sebagai penghormatan kepada beliau, arsitek paling senior. Menjelang malam kedua, tanggal 17 September, pertemuan dipindah ke rumah makan Dago Theehuis (sekarang Taman Budaya Jawa Barat) di Bandung utara agar suasananya lebih netral. Dalam kedua pertemuan tersebut dirumuskan tujuan, cita-cita, konsep Anggaran Dasar dan dasar-dasar pendirian persatuan arsitek murni, sebagai yang tertuang dalam dokumen pendiriannya, Menuju Dunia Arsitektur Indonesia yang Sehat.

Pada malam yang bersejarah itu resmi berdiri satu-satunya lembaga tertinggi dalam dunia arsitektur profesional Indonesia dengan nama: Ikatan Arsitek Indonesia disingkat IAI.

Jakarta, 9 November 2007

Badan Sinfar IAI

——————

Sumber:

Arisitiana AAR dan Sutrisno Murtiyoso. 1996. Perkembangan Arsitek Sebagai Profesi dan Lahirnya Ikatan Arsitek Indonesia. Bandung: Badan Sistem Informasi Arsitektur IAI-Jawa Barat

Disadur dari https://iai.or.id/tentang-iai/sejarah-iai